Malam itu chatingan dengan temen kuliah yang domilisinya di ibukota. Temen dari semester satu hingga kini, alhamdulillah pokoknya. Mengingat kita ada dalam frekuensi yang sama yakni sudah berada di zona "sejauh inikah aku dengan Tuhan". Tidak mudah menemukan teman yang dapat seirama dalam satu frekuensi mengingat umumnya di umur ini sudah pada sibuk dengan keluarga masing-masing.
Tema bahasan diawali dengan "aku sekarang baru ngeh apa yang kau ceritakan kemarin tentang postingan yang ujungnya dapat menyebabkan penyakit ain, ungkapnya". Di zaman yang sudah sangat kekinian ini, rasanya sosmed sudah menjadi candu sehingga ada dorongan kewajiban untuk membagikan kisah hidup disana dengan tajuk "eksistensi diri".
Benar eksistensi diri dapat dipercepat dengan cara memposting seluruh kegiatan terkeren, acara terhits, pakaian mahal, tempat nongkrog kekinian atau wisata fenomenal. Ini semua hak masing-masing orang untuk membagikan kisah hidup mereka. Namun ada kejadian 8 tahun silam yang membuat aku punya rem pakem kalau mau memposting sesuatu, auto pikir berkali2 untuk memposting hal yang tidak membuat orang sakit hati. Kenapa sakit hati?
Bermaksud berbagi kebahagiaan, namun tak selalu sejalan
Tahun 2012 diberi kesempatan Allah untuk wisuda lebih dulu dibanding teman-teman seangkatan. Memang dari awal tidak banyak mengumbar ini itu di depan teman-teman karna kondisi teman-teman satu angkatan masih ada yang belum mendapatkan pembimbing, judul ditolak ataupun mentok di metopen.
Kala itu ada salah satu sosmed yang lagi neg-hits dan dorongan untuk membuat status itu mendadak tinggi. "Apa iya aku tega meng-xpresikan kebahagiaanku atas pencapaian kuliah sedangkan temen-temen bahkan sahabat terdekat bener-bener baru tahap galau?" mengingat skripsi bagi mahasiswa masih menjadi momok besar yang berasa 154 sks nyatanya hanya 6 sks.
Hanya sepenggal bagian yang terlihat
Umumnya orang akan memposting segala sesuatu adalah hal terbaik darinya. Ibarat ada 50 foto dengan gaya yang sama pasti akan dipilih satu foto terbaek yang akan diposting. Begitu juga setiap penggal kisah yang kita lihat di sosmed. Bisa jadi rasanya ga sekeren apa yang kita lihat, ada perjuangan untuk mencapai hal tersebut, ada pengorbanan yag harus ia lakukan, ada air mata yang susah ia tahan, ada perih yang ia sembunyikan, ada duka yang harus ia lupakan, ada segenggam tekad yang harus ia sematkan. Selalu ada behind the scene, so masih baper lihat postingan yang hanya sepenggal?
Memilah dan memilih bahan postingan di medsos auto pakem. Kita tidak pernah tau kondisi orang yang membaca postingan kita sedang dalam kondisi seperti apa? alih-alih ingin berbagi kebahagiaan malah ujungnya membuat orang lain kufur. Kok kufur? ya kufur karena merasa hidupnya menderita ga sebahagia postingan kita. Misal "alhamdulillah lancar pedadarannya". Maksud yang nyetatus adalah ungkapan syukur namun bisa jadi itu bak teriris pisau belati bagi orang yang selalu ditolak pengajuan judul sripsinya, dst.
Kufur tersebut berujung terhadap lupa nikmat Allah lainnya. Lupa kalau kita sehat, lupa kalau punya sahabat terbaik, lupa kalau punya keluarga yang always on mendengarkan keluh kesah kita dst. Melupakan ribuan nikmat lantaran satu aspek diberikan slowly. Satu hal yang harus diingat di akhir zaman ini, kita wajib pintar untuk tau hal-hal apa saja yang harus dikonsumsi umum dan pribadi. Kekinian boleh namun tetep cerdas.
Kala itu ada salah satu sosmed yang lagi neg-hits dan dorongan untuk membuat status itu mendadak tinggi. "Apa iya aku tega meng-xpresikan kebahagiaanku atas pencapaian kuliah sedangkan temen-temen bahkan sahabat terdekat bener-bener baru tahap galau?" mengingat skripsi bagi mahasiswa masih menjadi momok besar yang berasa 154 sks nyatanya hanya 6 sks.
Hanya sepenggal bagian yang terlihat
Umumnya orang akan memposting segala sesuatu adalah hal terbaik darinya. Ibarat ada 50 foto dengan gaya yang sama pasti akan dipilih satu foto terbaek yang akan diposting. Begitu juga setiap penggal kisah yang kita lihat di sosmed. Bisa jadi rasanya ga sekeren apa yang kita lihat, ada perjuangan untuk mencapai hal tersebut, ada pengorbanan yag harus ia lakukan, ada air mata yang susah ia tahan, ada perih yang ia sembunyikan, ada duka yang harus ia lupakan, ada segenggam tekad yang harus ia sematkan. Selalu ada behind the scene, so masih baper lihat postingan yang hanya sepenggal?
Memilah dan memilih bahan postingan di medsos auto pakem. Kita tidak pernah tau kondisi orang yang membaca postingan kita sedang dalam kondisi seperti apa? alih-alih ingin berbagi kebahagiaan malah ujungnya membuat orang lain kufur. Kok kufur? ya kufur karena merasa hidupnya menderita ga sebahagia postingan kita. Misal "alhamdulillah lancar pedadarannya". Maksud yang nyetatus adalah ungkapan syukur namun bisa jadi itu bak teriris pisau belati bagi orang yang selalu ditolak pengajuan judul sripsinya, dst.
Kufur tersebut berujung terhadap lupa nikmat Allah lainnya. Lupa kalau kita sehat, lupa kalau punya sahabat terbaik, lupa kalau punya keluarga yang always on mendengarkan keluh kesah kita dst. Melupakan ribuan nikmat lantaran satu aspek diberikan slowly. Satu hal yang harus diingat di akhir zaman ini, kita wajib pintar untuk tau hal-hal apa saja yang harus dikonsumsi umum dan pribadi. Kekinian boleh namun tetep cerdas.
#semoga bermanfaat & hidup bahagia