Pagi ini, sang mentari tersenyum ceria.
Keceriaannyapun menular dan merasuk ke kalbu berupa smangat tuk lalui hari dengan indah. Dari arah
utara terlihat Gunung Merapi dengan gagahnya. Begitu jelas keindahan dan Kuasa
Tuhan. Subhanallah, decak kagumku. Khayalanku-pun
seakan terbang melintasi cakrawala dan hinggap disana, bernostalgiakan 2010
lalu tatkala aku ditakdirkan untuk menjadi seorang relawan ketika Gunung
teraktif itu “punya hajat”.
Bencana tak ada satupun yang
menghendaki begitu juga dengan ribuan penduduk yang berada di lereng Merapi.
Imbauan pemerintah pada waktu itu, dalam radius 20 km terhitung dari puncak
gunung diharapkan mengungsi di tempat2 yang sudah disediakan. Mengingat letusan
2010 berbeda. Dikutip dari http://regional.kompas.com
"Jika diukur dengan indeks letusan, maka
letusan pada 2010 ini lebih besar dibanding letusan Merapi yang pernah tercatat
dalam sejarah, yaitu pada 1872," kata Kepala Balai Penyelidikan dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Subandriyo di
Yogyakarta, Selasa (9/11/2010).
Takdir
menggiringku menjadi relawan di sebuah GOR di pusat kota, lebih tepatnya di stand Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)
pemerintah setempat. SKB bekerjasama dengan Perpustakaan Daerah mengirimkan 1
unit mobil yang berisi ratusan buku dari berbagai jenis subyek atau yang lebih
dikenal dengan perpustakaan keliling. Kebetulan sekali kami dari jurusan ilmu
perpustakaan, jadi hal tersebut bukanlah hal asing.
Setiap harinya dari kami stand by menemani pengungsi yang ingin membaca buku ataupun sekedar
bermain2 puzle, mengingat di stand SKB terdapat banyak mainan anak.
Sore menjelang petang sekitar pukul 17.20 WIB ada seorang Ibu menghampiriku dan
bertanya, kak, ini gimana ya caranya? (sambil menunjukkan soal tentang
aritmatika). Mendadak pusing-lah diriku dan perlahan satu demi satu contoh ku
telaah dan akhirnya bisa menjawab pertanyaan Sang Ibu. Ibu tersebut bersama 2
orang anaknya. Ima dan Ivan. Pada waktu itu, semua berjalan seadanya ga’ ada maksud untuk mengistimewakan Ima
atupun sejenisnya. Sebelum ia pulang aku meminta nomor hp Ibu Ima dengan maskud
jika da acara di SKB, aku bisa menghubunginya, mengingat Ima dan keluarganya
tidak tidur di dalam GOR, melainkan di rumah saudaranya yang berdekatan dengan
GOR.
Sore
harinya, Ima dan keluarga berencana tuk pamitan karena hari itu kondisi Merapi
sudah berangsur membaik, statusnya-pun sudah diturunkan, para pengungsi banyak
yang sudah pulang ke kampung masing2. Namun sayang, aku tak ada di tempat. Ima
hanya bertemu dengan teman2 dan menitipkan sebuah gambar yang ditujukan memang
buat-ku. Gambar merapi ala anak SD kelas 1 dengan tulisan Ima sayang Kak Ana.
Malamnya
seorang temen menyampaikan titipan Ima tersebut, melihat gambar tu membuat aku
merinding, kenapa? karna ga’ pernah kusangka ada rasa yang mendalam dalam
pertemuan pertama dan terakhir di GOR itu yang ga’ lebih dari setengah jam.
Malamnya pun aku langsung memberitahukan Ibu Ima lewat sms kalau besok pagi ada
hiburan dari pelawak dan pesulap yang sering kita lihat di tv,. Namun Ibu-nya
membalas, jika ia dan keluarganya sudah pulang ke rumah mengingat status Merapi
sudah diturunkan. Betapa senang hatiku saat itu, karna mereka sudah bisa
menghuni rumah masing2 walau masih harus tetap waspada. Sms-pun berlanjut
lumayan berkali-kali. Bagai tersayat sembilu,, “dek Ima ngajak ke pengungsian
lagi Kak, karena pengen ketemu Kak Ana. Katanya pingin belajar lagi dengan Kak
Ana. Kemarin dia nggambar pengungsian
nah da gambar Kak ana dan dek Ima..
Waktu terus berputar dan
membawaku di penghujung waktu menjadi relawan. Dengan berbekal alamat yang
sangat simple dan tidak detail kusempatkan untuk mencari
rumahnya. Sungguh suatu hal baru ku alami. Jalan berkelok2, kanan kiri pohon
yang menjulang lebatnya dan salipan truk pengangkut pasir-pun menjadi teman di
siang itu. Sesampai di daerah yang mengindikasikan kawasan rumahnya, ku
beranikan bertanya kepada seorang Bapak dan beliaupun menunjuk 1 rumah yang pas da
di depan motorku. Ternyata Bapak tersebut
adalah Bapaknya Ima.
Sambutan
hangat dari keluarga besarnya membuatku semakin tak bisa berkata2. Simbah Kakung
dan Simbah Putrinya-pun seolah telah mengenal dekat sosok-ku. Sosok Kak Ana.
Beliau bercerita kalau cucu kesayangannya sangat senang bertemu denganku. Imbuh
beliau, suatu ketika ada arisan di rumahnya, Ima ditanya tetangganya, “dek
kemarin gimana di pengungsian? Dengan ber-api2 ia menceritakan bahwa ia senang
sekali di pengungsian karena bisa ketemu kakak2 relawan termasuk ketemu
dengan ku. Mereka semua baik2.. dek Ima pengen kesana lagi, ketemu kak Ana” jleb jleb jleb..
Sebagai
tanda kasih sayang, aku membawa barang yang tak seberapa harganya yakni tirai
pintu dengan susunan snow white. Tak-ku
sangka Ima adalah penggemar snow white.
Koleksinya dari tas, buku, loose leaf dan poster2. Betapa ia sangat
senang sekali ketika mengetahui kalau itu adalah tirai snow white. Dengan perasaan yang campur aduk aku-pun memutuskan
untuk pamitan, mengingat cuacan kala itu kurang bersahabat. Dengan berat hati
terlihat dari raut wajahnya, Ima pun melambaikan tangannya sambil berkata “dek
Ima sayang Kak Ana, besok kapan2 kesini lagi ya kak,”. Ya dek jawabku lirih.
Hari2pun
berlalu begitu cepatnya, hinggga kini ia sudah kelas 4 SD. Seringkali telepon
ataupun sekedar menanyakan kabar. Dan rasanya-pun tak sanggup menjawab tatkala
ia berkata, kak Ana, dek Ima kangen,. Kapan kak Ana main kesini? (T_T..), "Besok ya dek" kata yang selalu aku ucapkan ketika pertanyaan itu muncul.
Ntah apa ini namanya, rasa haru bercampur
bahagia kerap mendera ketika aku melihat Guung Merapi. Disana ada orang2 yang
begitu menyayangiku dan menunggu kehadiranku. Seolah aku adalah orang baik bak
“malaikat”. Keluarga Ima mengajarkan aku arti silaturahmi, komunikasi dan persaudaraan.
Walau jarak dan waktu membentang jurang perbedaan, bukanlah menjadi penyebab
lunturnya arti persaudaraan yang berlandaskan ketulusan.
Sungguh Karunia Tuhan memang tak
ada ujungnya bagi mereka yang peka dan bersyukur. Karunia dan nikmat-pun tak selalu identik berupa
materi ataupun jabatan. Rasa saling menyayangi seperti inilah yang tak bisa
diukur dengan nominal berapa-pun. Perasaan yang tulus dari lubuk hati dan
sanubari insan manusia, sekalipun tercipta dibalik sebuah bencana alam. Biarlah kerinduan ini yang akan membingkai indah
tatkala kenangan itu muncul dalam raga ini.
#semoga bermanfaat & salam jiwa bahagia