Sedih
boleh, namun sekedarnya saja. Senang harus, namun sewajarnya saja. Begitu juga
ketika dilanda kebencian terhadap sesuatu. Bencilah sewajarnya saja jangan
berlebihan karna sekarang benci belum tentu besuk pagi masih benci lhoo, bisa2 sebaliknya malah bener2 cinta alias menggilainya. Begitu
juga ketika menyukai seseorang, sewajarnya saja. Karna bisa jadi esok hari ia
akan menjadi orang yang paling kita benci. Sengit
ndulit (red: kemakan omongan sendiri akibat terlalu membenci bahkan antipati
terhadap sesuatu).
Mengapa
itu bisa terjadi? Jawabnya karna kita terlalu berlebihan dalam menanggapi
sesuatu hal. Kita mempunyai pandangan yang terlalu tinggi terhadapa sesuatu,
dan ketika apa yang kita bayangkan tidak terjadi dan bahkan meleset jauh dari
perkiraan, maka kekecewaan yang timbul dan berimbas dengan rasa yang kita
miliki. Tidak mengherankan jika cinta bisa jadi benci, benci bisa jadi cinta..,
so sewajarnya saja.!
Begitu
juga dalam hal persahabatan, biasa saja,sewajarnya saja. Jangan mendewakan
persahabatan yang sedang dijalani, karna apa? Karna tak ada yang abadi di dunia
ini, kecuali-Nya. Dalamnya laut dapat diukur, namun dalamnya hati sapa yang tau?, begitu juga dengan
perasaan para sahabat kita. Bisa jadi, mereka ngampet kegalauan terhadap kelakuan minus kita slama ini, yang ending-nya
berwujud bom waktu yang sewaktu2 dapat
meledak tanpa baa bii buu,.. yaps
meledak, tanpa ada kompromi., dan itupun sangat fatal akibatnya.
Tak
kalah pentingnya terhadap interaksi di lingkungan sekitar,, sewajarnya
saja-lah! Ga’ usah berlebihan ingin terlihat
lebih dibanding yang lainnya. Lebih menarik, lebih kecii dilihat, lebih pandai,
dan lebih lebih lebih lainnya. Sejatinya tampil sederhana, sewajarnya dan apa
adanya sebagaimana mestinya jauuuuuuuuuuuuuh
mempesona. Katakanlah yang
bersangkutan orang yang bependidikan tinggi, maka yang harus dilakukan bersikap
dan berfikir yang luas, tidak fanatik, open
minded dan tetap asiik menanggapi
“keberagaman”, bukan malah sebaliknya. Laksana padi yang kian merunduk dengan
kerendahan hatinya, bukan seperti pohon jati yang kian tegak dengan
keangkuhannya.
Pada
hakikatnya segala sesuatu yang berasal dari ulah kita akan dan pasti kembali ke
diri kita kok. Yaps siapa menanam dia
yang akan menuai. Tak peduli apakah hal kebaikan ataupun sebaliknya. Jadi ga’ perlu rasanya menceritakan dan
mengumbar apapun yang telah dilakukan, jikalau kebaikan yang ditanam tanpa kita
harus koar2 kemana2, kebaikan itu sendiri
yang akan “mengangkat” kita, begitu juga sepintar2 apapun menyimpan “bau busuk”
maka cepat atau lambat orang2 akan mengetahuinya.
Biasa
aja, sekedarnya aja, sewajarnya, sesuai porsinya saja dan yang terpenting ga’ usah lebay alias berlebihan. Adalah sebuah solusi dalam
menanggapi apapun yang menghampiri kita. Karna tak selalu apa yang menyapa di
kehidupan ini sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tak lupa menempatkan diri
sebagaimana mestinya tak luput memberikan
kontribusi yang menjadikan kita magnet bagi lingkungan. Magnet positif
yang akan menarik kutub2 kebaikan bagi lingkungan sekitar.
#semoga bermanfaat & hidup bahagia
0 comments:
Post a Comment